ANTIBIOTIK? SECUKUPNYA SAJA

Penggunaan antibiotik untuk pengobatan penyakit saat ini seperti menjadi keharusan, bahkan untuk pengobatan penyakit yang tidak membutuhkan antibiotik dengan alasan kurang mantap.  Ditilik dari arti kata ‘antibiotik’ oleh Selman Waksman (1973), penemu Streptomycin (jenis antibiotik), hanya menggambarkan mengenai penggunaan, efek laboratoris, atau aktivitas dari komponen kemikalia tanpa pemisahan golongan berdasarkan komposisi atau fungsi naturalnya, hanya sebatas penggunaan saja. Menurut Julian dan Dorothy Davies (2010), terminologi ‘antibiotik’ digunakan untuk menggambarkan berbagai kelas molekul organik yang menghambat atau membunuh mikroba melalui interaksi spesifik dengan target bakteri, tanpa mempertimbangkan sumber atau jenis penghasilnya. Sehingga antibiotik sintetis (bukan merupakan produk natural mikroorganisme) seperti Fluoroquinolones, Sulfonamides dan Trimethoprim juga disebut antibiotik.

Ketika Alexander Fleming menemukan agen pembunuh bakteri Penicillin (1928) diikuti penemuan Chloramphenicol dan Streptomycin, produksi substansi natural ini meroket seiring dengan berkembangnya tehnik pemilihan (screening), pemisahan dan isolasi.  Tidak hanya sebagai pembunuh bakteri, beberapa jenis antibiotik ternyata juga memiliki fungsi non-antibiotik tak terduga seperti antiviral/pembunuh virus (Acylovir dan Cytarabine), antitumor/pembunuh sel tumor (Chaliceamicins) dan antikanker/pembunuh sel kanker (Actinomycin), bahkan sebagai terapi penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) atau sebagai agen imunosupresif (penekan kekebalan tubuh) bagi penerima donor organ. Namun, dibalik penemuan fenomenal ini, Demain dan Sanchez (2009), menyebutkan mulai tingginya masalah resistensi antibiotik dan juga kasus tumor.

Kasus manusia tidak merespon pengobatan Penicillin pertama kali diumumkan pada tahun 1942, walaupun baru dikenalkan kepada masyarakat umum tahun 1945. Fleming sudah memperingatkan terjadinya hal ini dalam pidato penobatannya sebagai penerima nobel prize award. Peneliti mencoba mencari benang merah dan melihat bahwa penggunaan antibiotik melebihi takaran dan tidak tepat sasaran seperti mengobati sakit flu, menjadi alasan yang masuk akal. Namun apakah mungkin manusia tertular bakteri kebal antibiotik dari mengkonsumsi protein hewani? Masih merupakan perdebatan besar.

Pemberian antibiotik pada hewan sumber pangan berfungsi sebagai pengobatan, pencegahan dan kontrol penyakit, meningkatkan efisiensi pakan dan animal growth promoter (AGP). Walaupun AGP terlihat menjanjikan namun Smith dan Crabb (1957) menemukan bahwa flora usus pekerja peternakan dan hewan di peternakan yang menggunakan AGP lebih resisten dibandingkan pekerja dan hewan yang tidak menggunakan AGP. Kemudian Levy dkk (1976) mengadakan percobaan dengan memberikan dosis rendah oxytetracyclin dalam pakan ayam sebagai AGP. Hasilnya mengejutkan, koloni bakteri resisten terhadap oxytetracycline tidak hanya ditemukan pada ayam, namun juga pekerja kandang beserta keluarganya.

Dalam setiap aplikasi antibiotik, selalu meninggalkan bakteri yang kebal. Apabila antibiotik diberikan dalam jangka waktu lama dengan dosis rendah akan menciptakan lingkungan ideal dimana hanya bakteri kebal yang dapat bertahan. Bakteri-bakteri terpilih tersebut dapat menyebar melalui kontak langsung dan tidak langsung, melalui air, makanan dan limbah peternakan. Alexander dkk (2008) menemukan bakteri kebal hidup pada karkas sapi setelah dikeluarkan darahnya dan telah berada 24 jam di dalam pendingin, serta dalam daging giling yang disimpan selama 1-8 hari. Tidak hanya ditemukan di hewan ternak, bakteri kebal juga ditemukan di ikan dan udang yang diternakkan.

Strategi terbaik untuk menekan pertumbuhan bakteri kebal adalah pemakaian antibiotik secara terkontrol. Artinya, sesuai dosis dari dokter dan digunakan hanya untuk pengobatan penyakit yang membutuhkan antibiotik. Lalu bagaimana dengan kemungkinan penularan dari hewan pangan? Selain himbauan kepada peternak untuk menghentikan pemakaian antibiotik selain untuk pengobatan dan memperhatikan waktu paruh obat sebelum hewan digunakan sebagai konsumsi untuk menghindari bahaya residu, sangat penting menjadi konsumen yang smart. Misalnya, memilih konsumsi daging ayam pedaging (broiler), ayam kampung atau ayam organik yang akhir-akhir ini mulai banyak dikembangkan, dibanding petelur (layer) betina afkir. Mencuci telur menggunakan sabun sebelum digunakan juga disarankan. Peneliti Jonaidi-Jafari dkk (2016) menemukan bakteri kebal pada 7% (34/440) kerabang telur unggas dari berbagai jenis di Iran. Usaha terakhir yang sangat penting adalah menjaga kebersihan, baik diri maupun lingkungan, terutama sebelum dan sesudah menangani segala sesuatu yang berhubungan dengan hewan.

 

 

Referensi :

van den Bogaard, A.E. & Stobberingh, E.E. (2000). Epidemiology of resistance to   antibiotics: Links between animals and humans. Int. J.of Antimicrobial Agents. Vol 14(4):327-335. ISSN 0924-8579, https://doi.org/10.1016/S0924-          8579(00)00145-X.

Davies, J., & Davies, D. 2010. Origins and Evolution of Antibiotic     Resistance. Microbiology and Molecular Biology Reviews : MMBR74(3), 417–           433. http://doi.org/10.1128/MMBR.00016-10

Demain, A. L., and S. Sanchez. 2009. Microbial drug discovery: 80 years of progress. J.     Antibiot. (Tokyo) 62:5-16.

Jonaidi-Jafari, N., Khamesipour, F., Ranjbar, R., Kheiri, R. 2016. Prevalence and    antimicrobial resistance of Campylobacter species isolated from the avian        eggs. Food Control,(70):35-40.

 

Marshal, B.M. dan Levy, S. B. 2011. Food Animals and Antimicrobials: Impacts on             Human Health. Clinical Microbiology Reviews. Vol 24(4):718-733.

Waksman, S. A. 1973. History of the word ‘antibiotic.’ J. Hist. Med. Allied Sci. 28:284-       286.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.